Template by:
Free Blog Templates

Selasa, 19 Januari 2010

PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS DAN KUANTITASNYA

Pembagian Hadits dari
segi kuantitas
dan kualitas
8 Januari 2010 7:33 am
Hadits yang dipahami
sebagai pernyataan,
perbuatan, persetujuan
dan hal yang berhubungan
dengan Nabi Muhammad
saw. Dalam tradisi Islam,
hadits diyakini sebagai
sumber ajaran agama
kedua setelah al-Quran.
Disamping itu hadits juga
memiliki fungsi sebagai
penjelas terhadap ayat-
ayt al-Qur’an sebagaimana
dijelaskan dalam QS: an-
Nahl ayat 44. Hadits
tersebut merupakan teks
kedua, sabda-sabda nabi
dalam perannya sebagai
pembimbing bagi
masyarakat yang beriman.
Akan tetapi, pengambilan
hadits sebagai dasar
bukanlah hal yang mudah.
Mengingat banyaknya
persoalan yang terdapat
dalam hadits itu sendiri.
Sehingga dalam berhujjah
dengan hadits tidaklah
serta merta asal comot
suatu hadits sebagai
sumber ajaran.
Adanya rentang waktu
yang panjang antara Nabi
dengan masa pembukuan
hadits adalah salah satu
problem. Perjalanan yang
panjang dapat memberikan
peluang adanya
penambahan atau
pengurangan terhadap
materi hadits. Selain itu,
rantai perawi yang banyak
juga turut memberikan
kontribusi permasalahan
dalam meneliti hadits
sebelum akhirnya
digunakan sebagai sumber
ajaran agama.
Mengingat banyaknya
permasalahan, maka
kajian-kajian hadits
semakin meningkat,
sehingga upaya terhadap
penjagaan hadits itu
sendiri secara historis
telah dimulai sejak masa
sahabat yang dilakukan
secara selektif.
Para muhaddisin, dalam
menentukan dapat
diterimanya suatu hadits
tidak mencukupkan diri
hanya pada terpenuhinya
syarat-syarat diterimanya
rawi yang bersangkutan.
Hal ini disebabkan karena
mata rantai rawi yang
teruntai dalam sanad-
sanadnya sangatlah
panjang. Oleh karena itu,
haruslah terpenuhinya
syarat-syarat lain yang
memastikan kebenaran
perpindahan hadits di
sela-sela mata rantai
sanad tersebut.
Makalah ini mencoba
mengelompokkan dan
menguraikan secara
ringkas pembagian-
pembagian hadits ditinjau
dari berbagai aspek
BAB II PEMBAGIAN HADITS
Hadits dapat dibagi kepada
beberapa bagian
diantaranya :
A. Pembagian Hadits
Berdasarkan Kuantitas
• Berdasarkan sedikit
banyaknya rawi yang
meriwayatkan hadits dibagi
menjadi tiga:
1. Hadits Mutawatir
a. Ta ’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut
lughat ialah mutatabi yang
berarti beriring-iringan
atau berturut-turut antara
satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah
ialah:
“ Suatu hasil hadits
tanggapan pancaindera,
yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi, yang
menurut kebiasaan
mustahil mereka berkumpul
dan bersepakat untuk
dusta.”
Artinya:
“ Hadits mutawatir ialah
suatu (hadits) yang
diriwayatkan sejumlah rawi
yang menurut adat
mustahil mereka
bersepakat berbuat dusta,
hal tersebut seimbang dari
permulaan sanad hingga
akhirnya, tidak terdapat
kejanggalan jumlah pada
setiap tingkatan. ”
Tidak dapat dikategorikan
dalam hadits mutawatir,
yaitu segala berita yang
diriwayatkan dengan tidak
bersandar pada
pancaindera, seperti
meriwayatkan tentang
sifat-sifat manusia, baik
yang terpuji maupun yang
tercela, juga segala berita
yang diriwayatkan oleh
orang banyak, tetapi
mereka berkumpul untuk
bersepakat mengadakan
berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat
dijadikan pegangan dasar
hukum suatu perbuatan
haruslah diyakini
kebenarannya. Karena kita
tidak mendengar hadits itu
langsung dari Nabi
Muhammad SAW, maka
jalan penyampaian hadits
itu atau orang-orang yang
menyampaikan hadits itu
harus dapat memberikan
keyakinan tentang
kebenaran hadits tersebut.
Dalam sejarah para perawi
diketahui bagaimana cara
perawi menerima dan
menyampaikan hadits. Ada
yang melihat atau
mendengar, ada pula yang
dengan tidak melalui
perantaraan pancaindera,
misalnya dengan lafaz
diberitakan dan
sebagainya. Disamping itu,
dapat diketahui pula
banyak atau sedikitnya
orang yang meriwayatkan
hadits itu.
Apabila jumlah yang
meriwayatkan demikian
banyak yang secara
mudah dapat diketahui
bahwa sekian banyak
perawi itu tidak mungkin
bersepakat untuk
berdusta, maka
penyampaian itu adalah
secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits
Mutawatir
Suatu hadits dapat
dikatakan mutawatir
apabila telah memenuhi
persyaratan sebagai
berikut :
1. Hadits (khabar) yang
diberitakan oleh rawi-rawi
tersebut harus
berdasarkan tanggapan
(daya tangkap)
pancaindera. Artinya
bahwa berita yang
disampaikan itu benar-
benar merupakan hasil
pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa-
peristiwa yang lain dan
yang semacamnya, dalam
arti tidak merupakan hasil
tanggapan pancaindera
(tidak didengar atau
dilihat) sendiri oleh
pemberitanya, maka tidak
dapat disebut hadits
mutawatir walaupun rawi
yang memberikan itu
mencapai jumlah yang
banyak.
2. Bilangan para perawi
mencapai suatu jumlah
yang menurut adat
mustahil mereka untuk
berdusta. Dalam hal ini
para ulama berbeda
pendapat tentang batasan
jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat
dusta.
a. Abu Thayib menentukan
sekurang-kurangnya 4
orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah
saksi yang diperlukan oleh
hakim.
b. Ashabus Syafi ’i
menentukan minimal 5
orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah
para Nabi yang
mendapatkan gelar Ulul
Azmi.
c. Sebagian ulama
menetapkan sekurang-
kurangnya 20 orang. Hal
tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah
difirmankan Allah tentang
orang-orang mukmin yang
tahan uji, yang dapat
mengalahkan orang-orang
kafir sejumlah 200 orang
(lihat surat Al-Anfal ayat
65).
d. Ulama yang lain
menetapkan jumlah
tersebut sekurang-
kurangnya 40 orang. Hal
tersebut diqiyaskan
dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah
dan orang-orang yang
mengikutimu (menjadi
penolongmu). ” (QS. Al-
Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para
perawi, sejak dalam
thabaqat (lapisan/
tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya.
Hadits mutawatir yang
memenuhi syarat-syarat
seperti ini tidak banyak
jumlahnya, bahkan Ibnu
Hibban dan Al-Hazimi
menyatakan bahwa hadits
mutawatir tidak mungkin
terdapat karena
persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu
Salah berpendapat bahwa
mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya
sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani
berpendapat bahwa
pendapat tersebut di atas
tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa
mereka kurang menelaah
jalan-jalan hadits,
kelakuan dan sifat-sifat
perawi yang dapat
memustahilkan hadits
mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-
kitab yang masyhur
bahkan ada beberapa
kitab yang khusus
menghimpun hadits-hadits
mutawatir, seperti Al-
Azharu al-Mutanatsirah fi
al-Akhabri al-Mutawatirah,
susunan Imam As-Suyuti
(911 H), Nadmu al-Mutasir
Mina al-Haditsi al-
Mutawatir, susunan
Muhammad Abdullah bin
Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir
memberikan faedah ilmu
daruri, yakni keharusan
untuk menerimanya secara
bulat sesuatu yang
diberitahukan mutawatir
karena ia membawa
keyakinan yang qath’i
(pasti), dengan seyakin-
yakinnya bahwa Nabi
Muhammad SAW benar-
benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu
seperti yang diriwayatkan
oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa penelitian
terhadap rawi-rawi hadits
mutawatir tentang keadilan
dan kedlabitannya tidak
diperlukan lagi, karena
kuantitas/jumlah rawi-
rawinya mencapai
ketentuan yang dapat
menjamin untuk tidak
bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajiblah bagi
setiap muslim menerima
dan mengamalkan semua
hadits mutawatir. Umat
Islam telah sepakat
tentang faedah hadits
mutawatir seperti tersebut
di atas dan bahkan orang
yang mengingkari hasil ilmu
daruri dari hadits
mutawatir sama halnya
dengan mengingkari hasil
ilmu daruri yang
berdasarkan musyahailat
(penglibatan pancaindera).
2. Hadits Aziz, yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh
dua orang perawi atau
lebih.
3. Hadits Ahad
a. Pengertian hadits ahad
Menurut Istilah ahli hadits,
tarif hadits ahad antara
lain adalah:
Artinya:
“ Suatu hadits (khabar)
yang jumlah
pemberitaannya tidak
mencapai jumlah pemberita
hadits mutawatir; baik
pemberita itu seorang. dua
orang, tiga orang, empat
orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah
tersebut tidak memberi
pengertian bahwa hadits
tersebut masuk ke dalam
hadits mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan
tarif sebagai berikut:
Artinya:
“ Suatu hadits yang
padanya tidak terkumpul
syara-syarat mutawatir. ”
b. Faedah hadits ahad
Para ulama sependapat
bahwa hadits ahad tidak
Qat ’i, sebagaimana hadits
mutawatir. Hadits ahad
hanya memfaedahkan zan,
oleh karena itu masih perlu
diadakan penyelidikan
sehingga dapat diketahui
maqbul dan mardudnya.
Dan kalau temyata telah
diketahui bahwa, hadits
tersebut tidak tertolak,
dalam arti maqbul, maka
mereka sepakat bahwa
hadits tersebut wajib
untuk diamalkan
sebagaimana hadits
mutawatir. Bahwa neraca
yang harus kita
pergunakan dalam
berhujjah dengan suatu
hadits, ialah memeriksa
“ Apakah hadits tersebut
maqbul atau mardud”.
Kalau maqbul, boleh kita
berhujjah dengannya.
Kalau mardud, kita tidak
dapat iktiqatkan dan tidak
dapat pula kita
mengamalkannya.
Kemudian apabila telah
nyata bahwa hadits itu
(sahih, atau hasan),
hendaklah kita periksa
apakah ada muaridnya
yang berlawanan dengan
maknanya. Jika terlepas
dari perlawanan maka
hadits itu kita sebut
muhkam. Jika ada, kita
kumpulkan antara
keduanya, atau kita
takwilkan salah satunya
supaya tidak bertentangan
lagi maknanya. Kalau tak
mungkin dikumpulkan, tapi
diketahui mana yang
terkemudian, maka yang
terdahulu kita tinggalkan,
kita pandang mansukh,
yang terkemudian kita
ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui
sejarahnya, kita usahakan
menarjihkan salah
satunya. Kita ambil yang
rajih, kita tinggalkan yang
marjuh. Jika tak dapat
ditarjihkan salah satunya,
bertawaqquflah kita
dahulu.
Walhasil, barulah dapat
kita dapat berhujjah
dengan suatu hadits,
sesudah nyata sahih atau
hasannya, baik ia muhkam,
atau mukhtakif adalah jika
dia tidak marjuh dan tidak
mansukh.
B. PembagianHaditst
Berdasakan Kualitas :
• Berdasarkan kualitas
hadits dibagi menjadi tiga
yaitu:
1. Hadits Sahih
Syarat hadits Sahih adalah
a. Diriwayatkan oleh perawi
yang adil.
b. Kedhabitan perawinya
sempurna.
c. Sanadnya bersambung
d. Tidak ada cacat atau
illat.
e. Matannya tidak syaz
atau janggal.
Hadits sahih menurut
bahasa berarti hadits yng
bersih dari cacat, hadits
yng benar berasal dari
Rasulullah SAW. Batasan
hadits sahih, yang
diberikan oleh ulama,
antara lain :
Artinya :
“ Hadits sahih adalah
hadits yng susunan
lafadnya tidak cacat dan
maknanya tidak menyalahi
ayat (al-Quran), hdis
mutawatir, atau ijimak
serta para rawinya adil
dan dabit.”
2. Hadits Hasan
Syarat hadits hasan
adalah:
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya
dibawah perawi hadits
sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung
kejanggalan pada
matannya.
e. Tidak ada cacat atau
illat.
Menurut bahasa, hasan
berarti bagus atau baik.
Menurut Imam Turmuzi
hasis hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadits
hasan dalam kitab kami
adalah hadits yng
sannadnya baik menurut
kami, yaitu setiap hadits
yang diriwayatkan melalui
sanad di dalamnya tidak
terdapat rawi yang
dicurigai berdusta, matan
haditsnya, tidak janggal
diriwayatkan melalui sanad
yang lain pula yang
sederajat. Hadits yang
demikian kami sebut hadits
hasan. ”
3. Hadits Daif
Hadits daif menurut bahasa
berarti hadits yang lemah,
yakni para ulama memiliki
dugaan yang lemah (keci
atau rendah) tentang
benarnya hadits itu
berasal dari Rasulullah
SAW.
Para ulama memberi
batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits
yang tidak menghimpun
sifat-sifat hadits sahih,
dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadits hasan. ”
Jadi hadits daif itu bukan
saja tidak memenuhi
syarat-syarat hadits
sahih, melainkan juga tidak
memenuhi syarat-syarat
hadits hasan. Pada hadits
daif itu terdapat hal-hal
yang menyebabkan lebih
besarnya dugaan untuk
menetapkan hadits
tersebut bukan berasal
dari Rasulullah SAW.
C. Pembagian Hadits
Berdasarkan Bentuk dan
Penisbahan Matan
a. Dari segi bentuk atau
wujud matannya, hadits
dapat dibagi lima macam;
1. Qauli :Hadits yang
matannya berupa
perkataan yang pernah
diucapkan
2. Fi ’li :Hadits yang
matannya berupa
perbuatan sebagai
penjelasan praktis
terhadap peraturan
syariat
3. Taqriri :Hadits yang
matannya berupa tarir,
sikap atau keadaan
mendiamkan, tidak
mengadakan tanggapan
atau menyetujui apa yang
telah dilakukan
4. Qawni :Hadits yang
matannya berupa keadaan
hal ihlwal dan sifat tertentu
5. Hammi :Hadits yang
matannya berupa rencana
atau cita-cita yang belum
dikerjakan, sebetulnya
berupa ucapan
b. Dari penyandaran
terhadap matan, hadits
dapat dibagi pada;
1. Marfu ’: Hadits yang
matannya dinisbahkan
pada Nabi Muhammad, baik
berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrir
Nabi Muhammad
2. Mauquf:Hadits yang
matannya dinisbahkan
pada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan,
atau taqrir
3. Maqtu ’:Hadits yang
matannya dinisbahkan
kepada tabiin, baik berupa
perkataan, perbuatan atau
taqrir
4. Qudsi: Hadits yang
matannya dinisbahkan
pada nabi Muhammad dalam
lafad pada Allah dalam
makna
5. Maudu ’i:Hadits yang
matannya dinisbahkan
pada selain Allah, Nabi
Muhammad, sahabat dan
tabiin. Ini bisa disebut
fatwa
D. Pembagian Hadits
Berdasarkan
Persambungan dan
Keadaan Sanad
Pembagian hadits
berdasarkan sanad, yang
ditinjau dari segi
persambungan sanad, dan
dari segi sifat-sifat yang
ada pada sanad dan
secara periwayatannya,
dapat dikemukan di bawah
ini. Hadits ditinjau dari segi
persambungan sanad
terbagi pada jenis-jenis.
a. Hadits Muttasil; Hadits
yang sanadnya
bersambung sampai
kepada Nabi Muhammad
SAW
b. Hadits Munfasil: Bila
sanadnya tidak
bersambung terdapat
inqitaha ’ (gugur rawi)
dalam sanad, dan terbagi
lagi kepada
1. Muallaq: Hadits yang
gugur rawinya seorang
atau lebih dari awal sanad
(mudawin)
2. Mursal: Hadits yang
gugur rawi pertama atau
ahir sanadnya
3. Munqathi ’:Hadits yang
gugur rawi di satu tabaqat
atau gugur dua orang
pada dua ttabaqat dalam
keadaan tidak berturut-
turut
4. Mu ’dhal: Hadits yang
gugur rawi-rawinya dua
orang atau lebih secara
berturut-turut dalam
tabaqat sanad, baik
sahabat bersama tabiin,
tabiin bersama tabin tabiin,
namun dua orang sebelum
sahabat dan tabiin
5. Mudallas: Hadits yang
gugur guru seorang rawi
karena untuk menutup
noda
Sebagai akhir pembahasan
tulisan ini, penulis sajikan
kesimpulan umum sebagai
berikut; Pertama, dalam
perkembangan masa hadits
dikelompakkan sesuai
kriteria masing-masing.
Secara garis besar hadits
dapat dibagi dengan
melihat sanad dan matan.
Sehingga dapat
dirumuskan, berdasarkan
diterima dan ditolaknya,
jumlah rawi, bentuk dan
penisbahan matan dan
berdasarkan
persambungan dan
keadaan sanad.
Kedua, munculnya
fenomena penambahan,
perbedaan redaksi,
penukaran urutan kalimat
terdapat uncur positive
dan lebih banyak
negatifnya. Positif bila
dilihat dari penambah
penjelas dari kalimat yang
masih perlu ditafsirkan.
Negatifnya membuat
keraguan sang pengkaji,
disebabkan berbagai hal,
diantaranya kemungkinan
sang perawi memang tidak
dabit, dan kemungkinan
rawi menafsirkan secara
obyektif, sehingga tidak
sesuai makna dan maksud
sebenarnya.
Dengan munculnya
fenomena diatas memiliki
dampak yang sangat
bahaya, lantaran kadang-
kadang berakibat
menjadikan sesuatu yang
bukan hadits sebagai
hadits, maka para ulama
sangat keras menyoroti
dan mengkajinya dengan
serius serta menanganinya
dengan sangat hati-hati.
Dan ahirnya para pecinta
hadits agar tergugah
untuk lebih berhati-hati
dalam menelaah dan
mengamalkan isi hadits
sehingga dapat
membedakan mana yang
termasuk bagian hadits
dan yang bukan.
Dari makalah diatas dapat
kami rangkum beberapa
hal antara lain :
Berdasarkan sedikit
banyaknya rawi yang
meriwayatkan hadits dibagi
menjadi tiga yaitu : 
o Mutawatir
o Aziz
o Ahad
Berdasarkan kualitas
hadits dibagi menjadi tiga
yaitu
o Shahih
o Hasan
o Dho ’if
Syarat hadits Sahih
adalah
o Diriwayatkan oleh perawi
yang adil.
o Kedhabitan perawinya
sempurna.
o Sanadnya bersambung
o Tidak ada cacat atau
illat.
o Matannya tidak syaz
atau janggal.
Dari segi bentuk atau
wujud matannya, hadits
dapat dibagi lima macam
o Qauli
o Fi ’li
o Taqriri
o Qauni
o Hammi

Selasa, 05 Januari 2010

HADIS SAHIH

Pengertian hadits
shahih adalah sebuah
hadits yang sanadnya
bersambung dan
diriwayatkan oleh rawi
yang tsiqah[1] Serta
tidak ada cacat atau
kekurangan dalam hadits
tersebut.[2] Atau dalam
istilah lain tidak termasuk
hadits yang syadz dan
mu’allal[3].
Dari pengertian ini
dapat kita ambil
kesimpulan bahwa kriteria
hadits shahih adalah
a) Tersambung sanadnya (ittisal
as-sanad) artinya setiap
hadits yang yang
diriwayatkan oleh rowi
kerowi di atasnya
sehingga sambung dalam
penerimaan haditsnya
kepada Nabi Muhammad
SAW. Oleh karena itu,
akan mengecualikan
hadits yang munqoti',
muaddlol, mullaq dan
mursal.
b) Diriwayatkan oleh rawi yang
tsiqah ('adil dan dhabit)
Adil adalah sifat yang
yang ada pada seseorang
yang senantiasa
mendorong untuk
bertakwa dan menjaga
kredibilitasnya. Ini terkait
dengan dimensi moral
spiritual.
Dlabit adalah sifat
terpercaya, hafal di luar
kepala, mengetahui arti
hadits,dan mampu untuk
menceritakan setiap saat
sesuai dengan redaksi saat
ia menerima hadits. Dlabit
sendiri dibagi menjadi tiga
tingkatan:
Tingkat pertama ( al-
darojah al-ulya) yang ada
pada 'adil dan dlobid
Tingkat kedua (al-darojah
al-wustho) tingkatan yang
ada di bawahnya
Tingkat ketiga (al-darojah
al-dunya) bawah tingkat
kedua.
c) Hadits yang diriwayatkan
bukan termasuk kategori
hadits yang syadz
d) Hadits yang diriwayatkan
harus terbebas dari illat
(cacat) yang dapat
menyebabkan kualitas
hadits menjadi turun. .
Hadits shohih terbagi
menjadi dua;
a) Shohih lidzatihi adalah
sebuah hadits ayng
mancakup semua syarat
hadits shohih dan
tingkatan rowi berada
pada tingkatan pertama.
Contoh;
من كذب علي
متعمدا فليتبوأ
مقعده من النار
Sehingga apabila sebuah
hadits telah ditelaah dan
telah memenuhi syarat di
atas, akan tetapi tingkatan
perowi hadits berada pada
tingkatan kedua maka
hadits tersebut dinamakan
hadits Hasan
b) Shohih lighoirihi
Hadits ini dinamakan
lighoirihi karena
keshohihan hadits
disebabkan oleh sesuatu
yang lain. Dalam artian
hadits yang tidak sampai
pada pemenuhan syarat-
syarat yang paling tinggi.
Yakni dlobid seorang rowi
tidak pada tingkatan
pertama. Hadits jenis ini
merupakan hadits hasan
yang mempunyai
beberapa penguat. Artinya
kekurangan yang dimiliki
oleh hadits ini dapat
ditutupi dengan adanya
bantuan hadits, dengan
teks yang sama, yang
diriwayatkan melalui jalur
lain. Contoh hadits dari
Muhammad bin Amr dari
Abi Salamah dari Abi
Hurairoh bahwa Nabi
bersabda
لو لا أن أشق علي
أمتي لأمرتهم
بالسواك عند كل
صلاة
Letak hadits ini masuk
pada kategori lighorihi.
Menurut Ibnu Sholah
memberi alasan karena
pada Muhammad bin
Amr bin al-Qomah
termasuk orang yang
lemah dalam
hafalan,.kekuatan, ingatan
dan juga kecerdasanya,
Akan tetapi hadits ini
dikuatkan dengan jalur
lain, yaitu oleh al A'raj bin
Humuz dan sa'id al
Maqbari maka bias
dikategorikan shohih
lighirihi.
Cara mengukur
keshohihan hadits..
Untuk mengetahui
suatu hadits itu apakah
shahih atau tidak, kita bisa
melihat dari beberapa
syarat yang telah
tercantum dalam sub
yang menerangkan hadits
shahih. Apabila dalam
syarat-syarat yang ada
pada hadits shahih tidak
terpenuhi, maka secara
otomatis tingkat hadits itu
akan turun dengan
sendirinya. Semisal kita
meneliti sebuah hadits,
kemudian kita temukan
salah satu dari perawi
hadits tersebut dalam
kualitas intelektualnya tidak
sempurna. Dalam artian
tingkat dlabidnya berada
pada tingkat kedua (lihat
tingkatan dlabid pada bab
hadits shahih), maka
dengan sendirinya hadits
itu masuk dalam kategori
hadits shahih lighoirihi.
Dan apabila ada sebuah
hadits yang setelah kita
teliti kita tidak menemukan
satu kelemahanpun dan
tingkatan para perawi
hadits juga menempati
posisi yang pertama ,
maka hadits itu dikatakan
sebagai hadits shahih
lidatihi.
Untuk hadits shahih
lighoirihi kita bisa merujuk
pada ketentuan-ketentuan
yang termuat dalam
pengertian dan kriteria-
kriteria hadits hasan
lidatihi. Apabila hadits itu
terdapat beberapa jalur
maka hadist itu akan naik
derajatnya menjadi hadits
shahih lighoirihi. Dengan
kata lain kita dapat
menyimpulkan apabila
ada hadits hasan akan
tetapi hadits itu
diriwayatkan oleh
beberapa rawi dan melalui
beberapa jalur, maka
dapat kita katakana hadits
tersebut adalah hadits
shahih lighoirihi.
Adapun derajat
hadist hasan sama
dengan hadist shahih
dalam segi
kehujjahannya, sekalipun
dari sisi kekuatannya
berada di bawah hadist
shahih. Oleh karena itu
mayoritas Fuqaha,
Muhaditsin dan Ushuliyyin
(ahli Ushul) berpendapat
bahwa hadist hasan tetap
dijadikan sebagai hujjah
dan boleh
mengamalkannya.
Pendapat berbeda
datang dari kelompok
ulama Al-Mutasyaddidun
(garis keras) yang
menyatakan bahwa hadist
hasan tidak ada, serta
tidak dapat dijadikan
hujjah. Sementara ulama
Al-Mutasahilun (moderat)
seperti al-Hakim, Ibnu
Hibban, Ibnu Khuzaimah
dll justru
mancantumkannya ke
dalam jenis hadist yang
bisa dijadikan sebagai
hujjah walupun
tingkatannya dibawah
hadits sahih[4].
Sedangkan
untuk hadits dhaif Ulama
juga berbeda pendapat,
yaitu[5] :
· Mutlak tidak bisa diamalkan
baik yang terkait dengan
hukum maupun Fadhail al
A'mal, menurut Abu
Hatim, Bukhori Muslim,
dan Abu Bakr ibn al 'Arabi.
· Mutlak bisa di amalkan asalkan
di tahrij oleh Abu dawud
dan Ahmad ibn Hanbal.
· Bisa diamalkan ketika terkait
dengan Fadhailul a'mal,
nasihat dan sebagainya.
Selain hukum.inipun
harus dengan catatan
apabila tidak sangat dha'if
dan harus bersamaan
dengan riwayat
pendukung[6].
Peran At-Tabi' dalam
analisis kualitas Sanad
Sebelum kita
mengetahui lebih jauh
peran mutabi' terhadap
kualitas sebuah hadits.
Sebaiknya kita terlebuh
dahulu mengetahui
apakah pengertian at tabi'.
Mutabi' merupakan isim
fa'il taba'a yang berarti
mengikuti. Sedangkan
pengertian terminologinya
adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh orang
yang berkapasitas sebagai
al- mukhorij al- hadits. Di
mana hadits itu sesuai
dengan hadits yang yang
diriwayatkan oleh
perawinya. Sedangkan al-
mukhorij itu
meriwayatkan dari guru
perawi pertama atau dari
guru gurunya perawi[7].
Pengertian lain mutabi'
adalah hadits yang
rowinya itu ada
kesesuaian dengan rowi
lain yang berkapasitas
sebagi mukharriij al
hadits. Di mana rawi
kedua meriwayatkan dari
guru rawi pertama atau
dari guru gurunya rawi
pertama. Kesesuaian tadi
bisa dalam ma'na, redaksi
ataupun keduanya[8].
Posisi mutabi' sangat
berpengaruh terhadap
kualitas sebuah hadits.
Karena ketika ada sebuah
hadits yang kurang dari
segi sanad, sehingga tidak
bisa dapat dikategorikan
sebagai hadits shohih
maupun hadits hasan,
maka ketika ditemukan
hadits yang sama dari
jalur lain, posisi hadits
yang pertama bisa kuat
dan naik menjadi hadits
shohih lighoirihi atau
hasan lighoirihi..
Contohnya adalah hadits
yang diriwayatkan oleh
Imam Syafii dari Malik dari
Abdullah bin Umar dari
Ibn Umar dari Nabi
ألشهر تسع
وعثرون فلا
تصوم حتى تروا
ألهلال
ولاتفطروا حتى
تروه فإن غم
عليكم فأكملوا
العدة ثلاثين
يوما
Hadits ini dinilai
ghorib karena diduga
hanya diriwayatkan oleh
Syafii dari Malik. Akan
tetapi ditemukan hadits
lain yang sama dan
diriwayatkan dari Abdullah
bin Maslamah al-Qo'nabi
dengan jalur sanad yang
sama.
[1] Tsiqah adalah seseorang
yang mempunyai sifat
'adil dan dlobid artinya
tidak diragukan kualitas
moral maupun
intelektualnya.
[2] al-Qosimi, Qawaid al
Tahdits...,hlm, 79, Umar
Hasim, Qowaid al-Ushul..
, hlm, 39. Ujjaj al-Khotib
Ushul al-hadits.., hlm,
305.
[3] Dr. Ahmad Umar
Hasyim, Qawaid Ushul al-
hadits, (tt: Dar al-Fikri,
t.th), hlm 39.
[4]Umar Hasyim, Qowaid al-
Ushul.. hlm. 77
[5] Ujjaj al-Khotib Ushul al-
hadits.., hlm, 351
[6] al Mun'im as Salim, Taisir
al 'Ulum.., hlm 36-37
[7] Dr. Subhi Sholih,
Membahas ilmu-ilmu
hadist, terj, 1997, Jakarta:
Pustaka Firdaus, hlm, 241
[8] Umar Hasyim, Qowaid
al-Ushul...., hlm, 168

Senin, 04 Januari 2010

KRITERIA HADISSHAHIH MENURUT IBNQAYYIM AL-JAWZIYAH

Pada dasarnya Ibn
Qayyim Al Jawziyah
berpendapat bahwa hadis
shahih adalah hadis yang
memenuhi kriteria, 1)
sanadnya bersambung;
2) para perawi hadisnya
adalah orang-orang yang
adil; 3) para perowinya
adalah orang yang al
dlobith (cermat); 4)
terbebas dari kontroversi;
dan 5) tidak memiliki
cacat. Ibnu Qayyim juga
berpendapat bahwa
hadis-hadis yang
kualitasnya shahih tidak
mungkin bertentangan
antara satu dengan yang
lain. Dalam penelitian ini
juga ditemukan bahwa
Ibn Qayyim adalah tokoh
yang sangat selektif
dalam memilih hadis-
hadis yang dijadikan
hujjah hukum, namun
dia bukan orang yang
terlalu ketat
(mutasyaddid) dalam
menilai seorang perowi.

Selasa, 10 November 2009


 
Bentuk Bulat Planet Bumi

"Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam..." (Al Qur'an, 39:5) Dalam Al Qur'an, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan tentang alam semesta sungguh sangat penting. Kata Arab yang diterjemahkan sebagai "menutupkan" dalam ayat di atas adalah "takwir". Dalam kamus bahasa Arab, misalnya, kata ini digunakan untuk menggambarkan pekerjaan membungkus atau menutup sesuatu di atas yang lain secara melingkar, sebagaimana surban dipakaikan pada kepala.
Keterangan yang disebut dalam ayat tersebut tentang siang dan malam yang saling menutup satu sama lain berisi keterangan yang tepat mengenai bentuk bumi. Pernyataan ini hanya benar jika bumi berbentuk bulat. Ini berarti bahwa dalam Al Qur'an, yang telah diturunkan di abad ke-7, telah diisyaratkan tentang bentuk planet bumi yang bulat.
Namun perlu diingat bahwa ilmu astronomi kala itu memahami bumi secara berbeda. Di masa itu, bumi diyakini berbentuk bidang datar, dan semua perhitungan serta penjelasan ilmiah didasarkan pada keyakinan ini. Sebaliknya, ayat-ayat Al Qur'an berisi informasi yang hanya mampu kita pahami dalam satu abad terakhir. Oleh karena Al Qur'an adalah firman Allah, maka tidak mengherankan jika kata-kata yang tepat digunakan dalam ayat-ayatnya ketika menjelaskan jagat raya

 
Garis Edar

Tatkala merujuk kepada matahari dan bulan di dalam Al Qur'an, ditegaskan bahwa masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.
"Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." (Al Qur'an, 21:33)
Disebutkan pula dalam ayat yang lain bahwa matahari tidaklah diam, tetapi bergerak dalam garis edar tertentu:
"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui." (Al Qur'an, 36:38)
Fakta-fakta yang disampaikan dalam Al Qur'an ini telah ditemukan melalui pengamatan astronomis di zaman kita. Menurut perhitungan para ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana.

Sebagaimana komet-komet lain di alam raya, komet Halley, sebagaimana terlihat di atas, juga bergerak mengikuti orbit atau garis edarnya yang telah ditetapkan. Komet ini memiliki garis edar khusus dan bergerak mengikuti garis edar ini secara harmonis bersama-sama dengan benda-benda langit lainnya.
Keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar seperti ini, dinyatakan dalam Al Qur'an sebagai berikut:
"Demi langit yang mempunyai jalan-jalan." (Al Qur'an, 51:7)
Terdapat sekitar 200 milyar galaksi di alam semesta yang masing-masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan. Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing seolah "berenang" sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya.
Semua benda langit termasuk planet, satelit yang mengiringi planet, bintang, dan bahkan galaksi, memiliki orbit atau garis edar mereka masing-masing. Semua orbit ini telah ditetapkan berdasarkan perhitungan yang sangat teliti dengan cermat. Yang membangun dan memelihara tatanan sempurna ini adalah Allah, Pencipta seluruh sekalian alam.
Garis edar di alam semesta tidak hanya dimiliki oleh benda-benda angkasa. Galaksi-galaksi pun berjalan pada kecepatan luar biasa dalam suatu garis peredaran yang terhitung dan terencana. Selama pergerakan ini, tak satupun dari benda-benda angkasa ini memotong lintasan yang lain, atau bertabrakan dengan lainnya. Bahkan, telah teramati bahwa sejumlah galaksi berpapasan satu sama lain tanpa satu pun dari bagian-bagiannya saling bersentuhan.
Dapat dipastikan bahwa pada saat Al Qur'an diturunkan, manusia tidak memiliki teleskop masa kini ataupun teknologi canggih untuk mengamati ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan fisika ataupun astronomi modern. Karenanya, saat itu tidaklah mungkin untuk mengatakan secara ilmiah bahwa ruang angkasa "dipenuhi lintasan dan garis edar" sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut. Akan tetapi, hal ini dinyatakan secara terbuka kepada kita dalam Al Qur'an yang diturunkan pada saat itu: karena Al Qur'an adalah firman Allah.
Pemisahan Langit dan Bumi



Gambar ini menampakkan peristiwa Big Bang, yang sekali lagi mengungkapkan bahwa Allah telah menciptakan jagat raya dari ketiadaan. Big Bang adalah teori yang telah dibuktikan secara ilmiah. Meskipun sejumlah ilmuwan berusaha mengemukakan sejumlah teori tandingan guna menentangnya, namun bukti-bukti ilmiah malah menjadikan teori Big Bang diterima secara penuh oleh masyarakat ilmiah.
Satu ayat lagi tentang penciptaan langit adalah sebagaimana berikut:
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (Al Qur'an, 21:30)
Kata "ratq" yang di sini diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" digunakan untuk merujuk pada dua zat berbeda yang membentuk suatu kesatuan. Ungkapan "Kami pisahkan antara keduanya" adalah terjemahan kata Arab "fataqa", dan bermakna bahwa sesuatu muncul menjadi ada melalui peristiwa pemisahan atau pemecahan struktur dari "ratq". Perkecambahan biji dan munculnya tunas dari dalam tanah adalah salah satu peristiwa yang diungkapkan dengan menggunakan kata ini.
Marilah kita kaji ayat ini kembali berdasarkan pengetahuan ini. Dalam ayat tersebut, langit dan bumi adalah subyek dari kata sifat "fatq". Keduanya lalu terpisah ("fataqa") satu sama lain. Menariknya, ketika mengingat kembali tahap-tahap awal peristiwa Big Bang, kita pahami bahwa satu titik tunggal berisi seluruh materi di alam semesta. Dengan kata lain, segala sesuatu, termasuk "langit dan bumi" yang saat itu belumlah diciptakan, juga terkandung dalam titik tunggal yang masih berada pada keadaan "ratq" ini. Titik tunggal ini meledak sangat dahsyat, sehingga menyebabkan materi-materi yang dikandungnya untuk "fataqa" (terpisah), dan dalam rangkaian peristiwa tersebut, bangunan dan tatanan keseluruhan alam semesta terbentuk.
Ketika kita bandingkan penjelasan ayat tersebut dengan berbagai penemuan ilmiah, akan kita pahami bahwa keduanya benar-benar bersesuaian satu sama lain. Yang sungguh menarik lagi, penemuan-penemuan ini belumlah terjadi sebelum abad ke-20

Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan LE Qur’an Et La Science
Qur’an dan Ilmu Pengetahuan

Taken From :

1. Al-Qur’an Sumber Segala Disiplin Ilmu Drs. Inu Kencana Syafiie
Gema Insani Press
Jakarta
Indonesia 1996

2. Bibel, Qur’an dan Sains Modern dr. Maurice Bucaille
bulan Bintang –
Indonesia 1984

3. Dari Sains ke Stand AlQur’an Dr. Imaduddin Khalil Arista –
Indonesia 1993

4. Asal usul manusia menurut Bibel, Al-Qur’an dan Sains Modern Dr. Maurice Bucaille Penerbit Mizan –
Indonesia 1996

5. Bang Arman,
Palembang

A. Pengertian Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah Swt, Tuhan alam semesta, kepada Rasul dan NabiNya yang terakhir, Muhammad Saw melalui malaikat Jibril as untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia sampai akhir jaman. Al-Qur’an berarti bacaan, nama-nama lain dari kitab suci ini adalah Al-Furqaan (Pembeda), Adz Dzikir (Pengingat) dan lain-lain, tetapi yang paling terkenal adalah Al-Qur’an. Sebagai kitab suci terakhir, Al-Qur’an bagaikan miniatur alam raya yang memuat segala disiplin ilmu, Al-Qur’an merupakan karya Allah Swt yang Agung dan Bacaan mulia serta dapat dituntut kebenarannya oleh siapa saja, sekalipun akan menghadapai tantangan kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin canggih (sophisticated). Kata pertama dalam wahyu pertama (The First Revelation) bahkan menyuruh manusia membaca dan menalari ilmu pengetahuan, yaitu Iqra’. Adalah merupakan hal yang sangat mengagumkan bagi para sarjana dan ilmuwan yang bertahun-tahun melaksanakan penelitian di laboratorium mereka, menemukan keserasian ilmu pengetahuan hasil penyelidikan mereka dengan pernyataan -pernyataan Al-Qur’an dalam ayat-ayatnya.

Setiap ilmuwan yang melakukan penemuan pembuktian ilmiah tentang hubungan Al -Qur’an dengan ilmu pengetahuan akan menyuburkan perasaan yang melahirkan keimanan kepada Allah Swt, dorongan untuk tunduk dan patuh kepada Kehendak-Nya dan pengakuan terhadap Kemaha Kuasaan-Nya. Tidak pada tempatnya lagi orang-orang memisahkan ilmu-ilmu keduniawian yang dianggap sekuler, seperti ilmu-ilmu sosial dengan segala cabangnya, dengan ilmu -ilmu Al-Qur’an.
Para ilmuwan dapat sekuler, tetapi ilmu tidak sekuler. Bila penyelidikan tentang alam raya ini adalah ilmiah, mana mungkin Pencipta Alam Raya ini tidak ilmiah. Bila percampuran dan persenyawaan unsur-unsur adalah ilmiah, mana mungkin Pencipta setiap unsur itu tidak ilmiah. Begitu pula pembicaraan hal-hal kenegaraan adalah ilmiah, mana mungkin Pencipta perbedaan watak individu yang menjadikan beraneka ragam ideologi tidak ilmiah. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadi bahasa kesatuan umat Islam sedunia. Peribadatan dilakukan dalam bahasa Arab sehingga menimbulkan persatuan yang dapat dilihat diwaktu ’shalat-shalat massal’ dan ibadah haji. Selain daripada itu, bahasa Arab tidak berubah, sangat mudah diketahui bila Al -Qur’an hendak ditambah atau dikurangi, banyak orang yang buta huruf terhadap bahasa nasionalnya, tetapi mahir membaca Al-Qur’an bahkan sanggup menghafal Al -Qur’an keseluruhan. Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat (QS. 68:52), sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah peringatan bagi seluruh umat (QS. 38:87), petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS. 2:2), korektor dari semua kitab sebelumnya yang telah terdistorsi (QS. 5:48). Al-Qur’an dalam bahasa Arab mempunyai
gaya tarik dan keindahan yang deduktif.
Didapatkan dalam
gaya yang singkat dan cemerlang, bertenaga ekspresif, berenergi eksplosif dan bermakna kata demi kata. (Dr. John Maish MA, The Wisdom Of The Koran.
Oxford 1937)B. Pengertian Ilmu Bila seseorang memiliki pengertian (understanding) atau sikap (attitude) tertentu, yang diperolehnya melalui pendidikan dan pengalaman sendiri, maka oleh banyak orang dianggap yang bersangkutan tahu atau berpengetahuan. Begitu juga bila seseorang memiliki ketrampilan atau ketangkasan (aptitude) yang diperolehnya melalui latihan dan praktek, maka kemampuan tersebut disebut kebiasaan atau keahlian. Namun keahlian atau kebiasaan ini, sekalipun karena keterbiasaan melakukan sesuatu, juga karena yang bersangkutan sebelumnya tahu itu adalah tahu mengerjakan (know to do), tahu bagaimana (know how) dan tahu mengapa (know why) sesuatu itu. Jadi sekalipun menurut Peter Drucker (The Effective Executive), kebiasaan yang berurat berakar yang tanpa dipikirkan (in thinking habit) telah menjadi kondisi tak sadar (reflex condition), tetap sebelumnya harus merupakan pengetahuan yang dipelajari dan dibiasakan. Tetapi E.J. Gladden dalam bukunya “The Essentials of Public Administration” menganggap ilmu sama dengan ketrampilan, hanya ketrampilan diperoleh melalui latihan dan belajar. Sekarang sebenarnya dimana letaknya ilmu ?
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan, sebaliknya, setiap pengetahuan belum tentu ilmu.
Untuk itu ada syarat-syarat yang membedakan ilmu (Science) dengan pengetahuan (knowledge), yaitu sbb: Menurut Prof. Dr. Prajudi Atmosudirdjo, Administrasi dan Management Umum 1982, Ilmu harus ada obyeknya, terminologinya, metodologinya, filosofinya dan teorinya yang khas. Menurut Prof. Dr. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial 1985, Ilmu juga harus memiliki obyek, metode, sistimatika dan mesti bersifat universal. Menurut Prof. Dr. Sondang Siagian, Filsafat Administrasi 1985 : Ilmu pengetahuan dapat didefenisikan sebagai suatu obyek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil, rumus yang melalui percobaan yang sistimatis dilakukan berulang kali telah teruji kebenarannya, prinsip-prinsip, dalil-dalil dan rumus-rumus mana dapat diajarkan dan dipelajari. Menurut Prof. Drs. Sutrisno Hadi, Metodologi Reserach 1 1969 : Ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lain adalah kumpulan dari pengalaman -pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang yang dipadukan secara harmonik dalam suatu bangunan yang teratur. Dari pendapat2 diatas terlihat bahwa ilmu pengetahuan itu kongkrit sehingga dapat diamati, dipelajari dan diajarkan secara teratur, teruji, bersifat khas atau khusus, dalam arti mempunyai metodologi, obyek, sistimatika dan teori sendiri. Disamping itu dalam pengajian ilmu-ilmu agama Islam, sementara ini meliputi antara lain yaitu berbagai ilmu Nahwu (seperti persoalan Fi’il dan Ijim), berbagai ilmu Tafsir (seperti tafsir Hadits dan Al-Qur’an dengan persoalan Nasikh, Mansukh, Mutasyabih, Tanzil dan Ta’wil), berbagai ilmu Tajwid (pronunciation), Qira’ah dan Balaghah (seperti Bayan, Ma’ani dan Badii), berbagai ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, berbagai ilmu Hadits (seperti kandungan dan perawi Hadits), berbagai ilmu tasawuf (seperti pengetahuan tentang Sufi, Tarekat, Mistisme dalam Islam, Filsafat Islam), berbagai ilmu Qalam (bentuk huruf Al -Qur’an), berbagai ilmu Arudh (poets) atau syair-syair Al-Qur’an dan berbagai ilmu Sharf (grammar, kata-kata dan morfologinya). Pembagian fakultas dan jurusan yang ada pada perguruan tinggi Islam seperti IAIN, kita temui Fakultas Syariah (meliputi Tafsir baik Al-Qur’an sendiri maupun Al -Hadits, Perbandingan Mahzab, Bahasa Arab), Tarbiyah (meliputi Pendidikan Agama Islam, Bahasa Arab dan lain-lain), Ushuluddin meliputi Perbandingan Agama (muqdranatul addien), bahasa Arab dan lain-lain, Fakultas Adab dan Fakultas Da’wah. Hal ini adalah karena pengetahuan keIslaman itu sendiri digolongkan atas Ibadah (yaitu tata cara peribadatan kepada Allah, dalam arti hubungan manusia dengan Allah atau Hablum Minallah, Muamalah (tata cara pergaulan sesama manusia, dalam arti hubungan antar manusia atau Hablum Minannas), persoalan Munakahaat dan persoalan Jinayaat. Dalam Al-Qur’an ada lebih dari 854 ayat-ayat yang menanyakan mengapa manusia tidak mempergunakan akal(afala ta’kilun), yang menyuruh manusia bertafakur/memikirkan (tafakurun) terhadap Al-Qur’an dan alam semesta serta menyuruh manusia mencari ilmu pengetahuan. Jadi kata yang identik dengan akal dalam Al-Qur’an tersebut 49 kali seperti kala Yatadabbarun dan Yatazakkarun, kata yang menganjurkan manusia menjadi ahli pikir, para sarjana, para ilmuwan dan para intelektual Islam (ulul albab) dalam Al -Qur’an disebut 16 kali, sehingga jumlah keseluruhan diatas adalah lebih kurang 854 kali. Beberapa diantaranya adalah sbb : “…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. 16:43) “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur’an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami..” (QS. 7:52) “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu.” (QS. 29:43) “Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. 58:11) “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan.” (QS. 16:44) “Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang -bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (memikirkannya).” (QS. 16:12) “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. 39:9) “…Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. 3:7) “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
(QS. 39:18) “…Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. 2:197) “…Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka
berfikir.” (QS. 59:21) (…::: BERSAMBUNG:::…)

my Blog


Sengaja saya ciptakan blog ini agar memudahkan saudara mencari materi pelajaran, khususnya yang berkenaan dengan pemuda dan islam. Dukungan dan motifasi dari kalian insyaALLAH akan menambah semangat saya mengembangkan blog ini.

Berapa jumlah pengunjung hari ini?

Powered By Blogger